Cari Blog Ini

Jumat, Agustus 24, 2012

Etika, Moral dan Akhlak


PENDAHULUAN

 Sesungguhnya Islam itu adalah agama samawi terakhir, ia berfungsi sebagai rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Maka Allah SWT mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan yang meliputi segi-segi fundamental tentang duniawai dan ukhrawi, guna menghantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat. Ajaran-ajaran Islam perlu diterapkan dalam segala bidang kehidupan manusia, menjadikan Islam sebagai nikmat dan kebanggaan manusia.
Beriman kepada Allah SWT merupakan hubungan yang paling mulia antara manusia dengan Zat Yang Maha Menciptakannya. Sebabnya karena manusia semulia-mulia makhluk Tuhan yang menetap di atas permukaan bumi, sedang semulia-mulia yang ada di dalam tubuh manusia itu ialah hatinya dan semulia-mulia  sifat yang ada di hati itu adalah keimanan. Keimanan termasuk salah satu karunia Allah yang paling mulia dan paling tinggi nilainya. Sebab dengan adanya iman seseorang memiliki pegangan dan acuan dalam mengarahkan tingkah laku sehari-hari.
Nafsu adalah salah satu unsur rohani manusia yang sangat besar pengaruhnya dan sangat banyak mengeluarkan instruksi-instruksi kepada anggota jasmaniah untuk berbuat atau bertindak. Ia dapat bermanfaat, tetapi sebaliknya, juga dapat berbahaya bagi manusia dan ini banyak tergantung kepada bagaimana sikap manusia itu sendiri menghadapi gejolak nafsunya. Sebagi orang dalam menghadapi nafsu ini, ingin membunuh nafsunya dengan tidak kenal ampun, seperti yang dilakukan para pertapa dan para rahib (pendeta) yang semata-mata hidup untuk rohaniah tanpa memperhatikan kepentingan jasmaniah dan hubungan sosial. Sebagian orang lagi ada yang mengambil sikap mengusung dan memanjakan nafsunya dengan mengikuti dan tunduk patuh terhadap apa pun yang dikehendaki oleh nafsu.


ETIKA, MORAL, DAN AKHLAK
A.     Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak.
Etika (Ethos) adalah kata Yunani; yang berarti adat, watak atau kesusilaan.[1]
“Etika” yang berarti adat kebiasaan sama dengan akhlak dalam arti bahasa. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun daripada suatu sistem nilai atau norma yang diambil daripada gejala-gejala alamiah masyarakat kelompok tersebut.[2]
Moral (Mos) yang jama’nya Mores adalah kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup.[3]
Meskipun kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian dalam percakapan sehari-hari, namun dari sisi lain mempunyai unsur perbedaan, misalnya:
1.         Istilah etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Karena itu, etika merupakan suatu ilmu;
2.         Istilah moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Karena itu, moral bukan suatu ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan manusia.
Kata Akhlaq berasal dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan; yang juga diartikan dengan perangai atau kesopanan.[4] Ahli bahasa Arab sering menyamakan Akhlak dengan istilah  ﺍﻟﺳﺨﻴﺔ , ﺍﻟﻂﺒﻊ , ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ , ﺍﻟﺪﻳﻦ , dan ﺍﻟﻤﺮﻭﻋﺔ  yang kesemuanya diartikannya dengan akhlak , watak, kesopanan, perangai, kebiasaan dan sebagainya.[5] Imam Al-Ghazaaly mengatakan: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yan dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan; tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama , dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.”
Dari definisi di atas akhlak adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya. Maka gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak , karena gerakan tersebut tidak diperintahkan oleh unsur kejiwaan.
Dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan manusia, pada dasarnya bersumber dari kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia; yaitu:
1.      Tabiat (pembawaan); yaitu suatu dorongan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri (gharizah) dan faktor warisan sifat-sifat dari orang tuanya.
2.      Akal-pikiran; yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkannya, merasakannya serta merabanya. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai sesuatu yang lahir (nyata).
3.      Hati Nurani; yaitu dorongan jiwa yang hanya terpengaruh oleh faktor intuitif. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai hal-hal yang sifatnya abstrak (yang batin).

Akhlak secara bahasa berasal dari kata khalaqa yang kata asalnya khuluqun yang berarti: perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat.[6] Akhlak karenanya secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang disepakati sebagai landasannya. Meskipun secara sosiologis di Indonesia, kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi “orang yang berakhlak” berarti orang yang berakhlak baik”.

B.      Hubungan Tasawuf dengan Akhlak.
Imam Al-Ghazaly mengemukakan pendapat Abu Bakar Al-Kattany yang mengatakan:
“Tasawuf adalah budi pekerti; barang siapa yang memberikan bekal budi-pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan berbagai akhlak (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.”[7]

Mahmud Amin An-Nawawy mengemukakan pendapat Al-Junaid Al-Baghdady yang mengatakan:
“Tasawuf adalah memelihara (menggunakan) waktu. (Lalu) ia berkata: seorang hamba tidak akan menekuni (amalan Tasawuf) tanpa aturan (tertentu), (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada Tuhan-nya dan merasa tidak berhubungan (dengan Tuhan-nya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepada-Nya).”

As-Suhrawardy mengemukakan pendapat Ma’ruf Al-Karakhy yang mengatakan: “Tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk (kesenangan duniawi).”
Ajaran tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadhaailul A’maal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal), tentunya maksudnya amalan sunat yang utama.
Prinsip-prinsip tasawuf ada lima macam; yaitu taqwa kepada Allah, mengikuti sunnah, menahan diri, rela dan bertaubat.[8] Selanjutnya bertaqwa kepada Allah (Taqwallah) yang dilakukan secara nyata maupun secara rahasia, membentuk dirinya bersikap wara dan istiqamah. Mengikuti sunnah (Ittbaa’us Sunnah) dalam perkataan maupun perbuatan, membentuk dirinya berhati-hati dan berakhlak mulia. Menahan diri (Al-I’raadh) dari hal-hal yang bersifat sementara (yang fana), membentuk dirinya selalu sabar dan tawakal. Bersikap rela (Ar-Ridha) dari pemberian Allah yang kadang-kadang relatif sedikit atau banyak, membentuk dirinya bersikap qana’ah dan lapang dada. Bertaubat (At-Taubah atau Ar-Rujuu’) kepada Allah, yang dilakukannya dengan cara yang terang-terangan maupun dengan cara yang bersifat rahasia; baik dilakukan dalam keadaan senang hati, maupun dalam keadaan kesusahan, sehingga membentuk kepribadian yang suka bersyukur ketika mendapatkan kesenangan dan bersabar ketika mendapatkan kesusahan.
Sehubungan lingkup kegiatan para sufi untuk mencapai suatu keridhaan dari Allah SWT. Ide-ide itu mengharapkan agar kegiatan Tasawuf tidak hanya diarahkan kepada ibadah vertikal, tetapi hendaknya juga diarahkan kepada ibadah horizontal, sehingga nantinya Ulama Tasawuf harus ikut juga memikirkan kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak. Maka konsekuensinya , istilah-istilah yang sering digunakan oleh sufi, harus didefinisikan kembali; misalnya istilah zuhud yang selama ini didefinisikan sebagai sikap yang meninggalkan kesenangan duniawi yang dapat menyebabkan seseorang lupa kepada Tuhannya. Karena itu, kekayaan yang dapat dijadikan sarana kemudahan untuk beribadah dan untuk membangun masyarakat, dapat disebut zuhud. Jadi, yang dihindari sebagai sikap zuhud bukan kekayaannya, tetapi sebenarnya efek negatifnya; termasuk sikap sombong, takabur dan lalai yang diakibatkannya.
Ajaran Islam itu sendiri memberikan petunjuk untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, sebagimana keterangan Al-Qur’an yang berbunyi:
ﻭﺍﺑﺘﻎﻓﻴﻤﺎﺍﺗﻚﺍﻟﻠﻪﺍﻟﺪﺍﺭﺍﻻﺧﺮﺓﻭﻻﺗﻨﺲﻧﺼﻴﺒﻚﻣﻦﺍﻟﺪﻧﻴﺎﻭﺍﺣﺴﻦﻛﻤﺎ ﺍﺣﺴﻦﷲﺍﻟﻴﻚﻭﻻﺗﺒﻎﺍﻟﻔﺴﺎﺩﰱﺍﻻﺭﺽ  ﺍﻥﷲﻻﻳﺤﺐﺍﻟﻤﻔﺴﺪﻳﻦ  
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah bagimu untuk negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu, serta janganlah berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al-Qasas: 77).

Membicarakan akhlak dengan tasawuf; bahwa akhlak merupakan tolak tasawuf, sedangkan tasawuf merupakan batas akhir akhlak.[9] Maka pernyataan ini, dapat dipahami bahwa ajaran akhlak merupakan sarana untuk mengamalkan ajaran tasawuf, sedangkan tasawuf adalah tujuan sementara akhlak.
Dan kalau kita memperhatikan lagi istilah At-Takhalli; yang dimaksudkan nya sebagai upaya pembersihan diridari sifat-sifat tercela, istilah At-Takhalli; yaitu upaya pengisisn diri dengan sifat-sifat terpuji, dan At-Tajalli; yaitu penyaksian hati ketika mendapatkan kenyataan Tuhan . dan ketika hamba melakukan At-Takhalli dan At-Takhalli (menyinari hatinya dengan sifat-sifat terpuji), maka ia masih mengamalkan ajaran akhlak. Tetapi ketika hamba melakukan At-Tahalli (dalam arti mengamalkan syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat), maka ia telah memasuki ajaran tasawuf. Dan bila hamba itu telah sampai pada tahapan ma’rifat, maka ia pasti mencapai tingkatan At-Tajalli, yaitu perolehan pancaran cahaya yang bersumber dari Allah SWT; apakah hamba itu mendapatkan Tajalli dengan perbuatan-Nya (At-Tajalli Bi-Af’aalihi), Tajalli dengan nama-Nya (At-Tajalli Bi-Asmaaihi), Tajalli dengan sifat-Nya (At-Tajalli Bi-Shifaatihi) ataupun ia mendapatkan Tajalli dengan Dzat-Nya (At-Tajalli Bi-Dzaatihi).[10]
Dari uraian tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa hubungan akhlak dengan tasawuf sangat erat, dimana akhlak merupakan pangkal tolak tasawuf, sedangkan tasawuf merupakan tujuan sementara akhlak. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat (As-Sa’aadah) menurut Ulama Tasawuf Sunniy, atau menjadi manusia ideal (Al-Insaanul Kaamil) menurut Ulama Tasawuf Falsafiy.

C.      Indikator Manusia Berakhlak.
Umat Islam yang dipersiapkan untuk benar-benar menjadi “Ummatan Wasathan”, harus dilengkapi dengan tuntunan yang dapat dijadikan alat komunikasi dengan sesama manusia. Tuntunan itu berupa ajaran akhlak mulia, yang diharapkan untuk mewarnai segala aspek kehidupan manusia. Karena itu, sesungguhnya ilmu komunikasi yang paling hebat adalah ilmu yang didasarkan atas “Al-Akhlaaqul Kariimah”, yang menjadi pegangan bagi umat Islam, dengan anjuran melakukan sifat-sifat yang terpuji.
Adapun indikator atau ciri-ciri manusia yang berakhlak antara lain:
1.      Berbakti kepada kedua orang tua ( ﺑﺮﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ) yaitu membuat kedua orang tua merasa senang dan bahagia atas perbuatan yang kita kerjakan, misalnya:
a.      Mematuhinya, menghormatinya dan sopan santun terhadapnya;
b.      Berlaku jujur dan menaruh percaya terhadapnya, selama perbuatannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam;
c.       Mensyukuri seluruh jerih payah orang tuanya, dan selalu membantunya; baik ketika diminta atau tidak;
d.      Mengurusi jenazah orang tuanya bila meninggal, selalu mendoakannya serta melanjutkan cita-cita baiknya.
2.      Menghormati tetangga dan tamu (   ﺍﻛﺮﺍﻡﺍﻟﺨﺎﺭﻭﺍﻟﻀﻴﻒ  ) yaitu bersikap dan berperilaku sopan terhadap tetangga dan tamu, serta tidak menyombongkan diri dan tidak angkuh terhadapnya.
3.      Berusaha menimbulkan rasa kasih sayang dan menarik simpati orang lain (  ﻛﺴﺐﺍﻟﻮﺩﺓﻭﺍﺳﺘﻤﺎﻟﺔﻗﻠﻮﺏﺍﻟﻨﺎﺱ ) yaitu mewujudkan rasa kasih sayang terhadap manusia beserta menggugah hatinya agar tertanam rasa simpati kepada kita, dengan cara berbuat sesuatu yang tidak merasa dirugikannya.
4.      Memberikan sumbangan yang bersifat meringankan beban hidup bagi orang-orang yang berhak menerimanya ( ﺑﺬﻝﺍﻟﺼﺪﻗﺔﻟﻤﻦﻳﺴﺘﺤﻘﻬﺎ ) yaitu suatu upaya yang sangat dianjurkan dalam Islam, agar dapat mengangkat derajat orang-orang yang lemah ekonominya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
5.      Membantu memudahkan urusan sesama manusia, bagi orang yang berkemampuan ( ﺗﻴﺴﻴﺮﺍﻣﺮﻋﺴﻴﺮﻋﻠﻰﺍﺥﻋﻨﺪﺫﺳﻄﺎﻥ ) yaitu mencakup bantuan yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat jasa; baik secara langsung maupun tidak langsung, kesemuanya sangat dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan dalam urusan sesama manusia.[11]

D.     Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan.
1.      Akhlak terhadap Tuhan; yang meliputi antara lain:
a.      Bertaubat (At-Taubah); yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik.
b.      Bersabar (Ash-Shabru); yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa usaha untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkan nya adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Tuhan.
c.       Bersyukur (Asy-Syukru); yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya; baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan pendekatan diri kepada Yang memberi nikmat, yaitu Allah SWT.
d.      Bertawakkal (At-Tawakkal): yaitu menyerahkan segala sesuatu urusan kepada Allah setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada Allah SWT. Maka dengan cara demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya.
e.      Ikhlas (Al-Ikhlaash): yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas.
f.        Raja’ (Ar-Rajaa’); yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT, setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu disebut “tamanni” atau khayalan.
g.      Bersikap takut (Al-Khauf); yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menuggu sesuatu yang tidak disenangi dari Allah SWT. Maka manusia perlu berupaya agar apa yang ditakuti itu, tidak akan terjadi.

2.      Akhlak terhadap sesama manusia; yang meliputi antara lain:
a.      Belas kasih atau sayang (Asy-Syafaqah); yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain.
b.      Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa’); yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan batin dengannya.
c.       Memberi nasihat (An-Nashiihah); yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan; baik ketika orang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum. Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketika ia belum melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya.
d.      Memberi pertolongan (An-Nashru); yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan.
e.      Menahan amarah (Kazhmul Ghaizhi); yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain.
f.        Sopan santun (Al-Hilmu); yaitu suatu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan yang mulia.
g.      Suka memaafkan (Al-Afwu’); yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.

Konsep iman dalam ajaran islam adalah berhubungan dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan manusia, maupun dengan makhluk lainnya.
Akhlak yang mulia itu amat banyak jumlahnya, namun yang utama dan pokoknya adalah pengendalian hawa nafsu, bersikap benar dan jujur, ikhlas, qanaah, dan malu. Kesemuanya itu saling berkaitan dan berakar pada iman kepada Allah SWT.[12]
Untuk mencapai kebutuhan hidup, manusia mau tidak mau ia harus menjalin hubungan dengan orang lain yaitub melakukan kerjasama, tolong menolong, saling menghormati, dan menasihati. Hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sudah diatur dalam agama seperti adab kesopanan atau akhlakul karimah, dengan tetangga, guru, orang tua, teman dan sebagainya.[13]
Dengan cara demikian, manusia akan mencapai arti dan hakikat hidupnya berupa kabahagiaan yang hakiki, lahiriah dan batiniah. Dengan itu kemudian manusia dapat dengan tenang melaksanakan tujuan hidupnya yaitu melakukan pengabdian kepada Allah SWT.

 
 
 Kesimpulan
Etika yang berarti adat kebiasaan sama dengan akhlak dalam arti bahasa. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun daripada suatu sistem nilai atau norma yang diambil daripada gejala-gejala alamiah masyarakat kelompok tersebut.nMoral (Mos) yang jama’nya Mores adalah kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup. Akhlak secara bahasa berasal dari kata khalaqa yang kata asalnya khuluqun yang berarti: perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat.
Membicarakan akhlak dengan tasawuf; bahwa akhlak merupakan tolak tasawuf, sedangkan tasawuf merupakan batas akhir akhlak. Maka pernyataan ini, dapat dipahami bahwa ajaran akhlak merupakan sarana untuk mengamalkan ajaran tasawuf, sedangkan tasawuf adalah tujuan sementara akhlak.
Adapun indikator atau ciri-ciri manusia yang berakhlak antara lain: Berbakti kepada kedua orang tua; Menghormati tetangga dan tamu; Berusaha menimbulkan rasa kasih sayang dan menarik simpati orang lain; Memberikan sumbangan yang bersifat meringankan beban hidup bagi orang-orang yang berhak menerimanya; Membantu memudahkan urusan sesama manusia, bagi orang yang berkemampuan.
Hubungan dengan sesama manusia dapat mengambil bentuk hubungan dalam keluarga, bertetangga, dan berbangsa. Masing-masing hubungan tersebut memiliki prinsip-prinsip yang apabila dipatuhi akan dapat menciptakan suasana yang harmonis kepada setiap manusia yang terlibat dalam hubungan tersebut. Hubungan keluarga adalah saling mencintai, sayang menyayangi, bantu membantu, harga menghargai, dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Dalam hidup berbangsa yang merupakan kumpulan dari masyarakat adanya ras cinta tanah air, tanpa mengutamakan kepantingan pribadi di atas kepentingan bersama.


DAFTAR PUSTAKA


A.H. Dabana, Esensi Hidup Dustur Ilahi Dalam Fisika, Metafisika, dan Al-Qur’an, Penerbit CV. “MS” Banjarmasin, 2002.
Ali Hasan, Drs. H. & Abuddin Nata, Drs. H., Materi Pokok Agama Islam, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, dan Universitas Terbuka, 1998.
Mahmud Sujuthi, Drs. H., Membentuk Manusia Seutuhnya Melalui Iman-Islam-Ihsan, Penerbit CV. Al-Ihsan, Surabaya, 1995.
Mahyuddin, Drs., Kuliah Akhlak Tasawuf, Penerbit Kalam Mulia, Jakarta, 1999.
Nasruddin Razak, Drs., Dienul Islam, Penerbit PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1971.
Zakiah Darajat, Prof. DR., et all., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Penerbit PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987.



[1] Mahyuddin, Drs;  Kuliah Akhlak Tasawuf, Kalam Mulia, Jakarta, 1999, hal: 7.
[2] Zakiah Darajat, Prof. DR, et all; Dasar-dasar Agama Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal: 257.
[3] Mahyuddin, Drs; Op Cit, hal: 7.
[4] Ibid, hal: 1.
[5] Ibid, hal: 2.
[6] Zakiah Darajat, Prof. DR; Op cit, hal: 253.
[7] Mahyuddin, Drs; Op cit, hal: 151.
[8] Ibid, hal: 152.
[9] Ibid, hal: 156.
[10] Ibid, hal: 156.
[11] Ibid, hal: 141.
[12] M. Ali Hasan, Drs. H. & Abuddin Nata, Drs. H., Modul Agama Islam, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, Ditjen Binbaga Islam, Jakarta, 1998, hal: 96.
[13] Ibid, hal: 125.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar