PENDAHULUAN
Sesungguhnya
Islam itu adalah agama samawi terakhir, ia berfungsi sebagai rahmat dan nikmat
bagi manusia seluruhnya. Maka Allah SWT mewahyukan agama ini dalam nilai
kesempurnaan yang meliputi segi-segi fundamental tentang duniawai dan ukhrawi,
guna menghantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan
akhirat. Ajaran-ajaran Islam perlu diterapkan dalam segala bidang kehidupan
manusia, menjadikan Islam sebagai nikmat dan kebanggaan manusia.
Beriman
kepada Allah SWT merupakan hubungan yang paling mulia antara manusia dengan Zat
Yang Maha Menciptakannya. Sebabnya karena manusia semulia-mulia makhluk Tuhan
yang menetap di atas permukaan bumi, sedang semulia-mulia yang ada di dalam
tubuh manusia itu ialah hatinya dan semulia-mulia sifat yang ada di hati itu adalah keimanan.
Keimanan termasuk salah satu karunia Allah yang paling mulia dan paling tinggi
nilainya. Sebab dengan adanya iman seseorang memiliki pegangan dan acuan dalam
mengarahkan tingkah laku sehari-hari.
Nafsu
adalah salah satu unsur rohani manusia yang sangat besar pengaruhnya dan sangat
banyak mengeluarkan instruksi-instruksi kepada anggota jasmaniah untuk berbuat
atau bertindak. Ia dapat bermanfaat, tetapi sebaliknya, juga dapat berbahaya
bagi manusia dan ini banyak tergantung kepada bagaimana sikap manusia itu
sendiri menghadapi gejolak nafsunya. Sebagi orang dalam menghadapi nafsu ini,
ingin membunuh nafsunya dengan tidak kenal ampun, seperti yang dilakukan para
pertapa dan para rahib (pendeta) yang semata-mata hidup untuk rohaniah tanpa
memperhatikan kepentingan jasmaniah dan hubungan sosial. Sebagian orang lagi
ada yang mengambil sikap mengusung dan memanjakan nafsunya dengan mengikuti dan
tunduk patuh terhadap apa pun yang dikehendaki oleh nafsu.
ETIKA, MORAL, DAN AKHLAK
A.
Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak.
Etika (Ethos) adalah kata Yunani; yang berarti adat, watak
atau kesusilaan.[1]
“Etika” yang berarti adat kebiasaan sama dengan akhlak dalam
arti bahasa. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau
sekelompok orang, yang tersusun daripada suatu sistem nilai atau norma yang
diambil daripada gejala-gejala alamiah masyarakat kelompok tersebut.[2]
Moral (Mos) yang
jama’nya Mores adalah kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup.[3]
Meskipun kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian
dalam percakapan sehari-hari, namun dari sisi lain mempunyai unsur perbedaan,
misalnya:
1.
Istilah etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai
yang ada. Karena itu, etika merupakan suatu ilmu;
2.
Istilah moral digunakan untuk memberikan kriteria
perbuatan yang sedang dinilai. Karena itu, moral bukan suatu ilmu, tetapi
merupakan suatu perbuatan manusia.
Kata Akhlaq berasal
dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan; yang juga diartikan dengan
perangai atau kesopanan.[4] Ahli
bahasa Arab sering menyamakan Akhlak dengan istilah ﺍﻟﺳﺨﻴﺔ
, ﺍﻟﻂﺒﻊ , ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ , ﺍﻟﺪﻳﻦ
, dan ﺍﻟﻤﺮﻭﻋﺔ yang kesemuanya diartikannya dengan akhlak ,
watak, kesopanan, perangai, kebiasaan dan sebagainya.[5] Imam
Al-Ghazaaly mengatakan: “Akhlak adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yan dapat melahirkan suatu
perbuatan yang gampang dilakukan; tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih
lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut
ketentuan akal dan norma agama , dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia
melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.”
Dari definisi di atas akhlak
adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya. Maka gerakan
refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak dapat disebut akhlak , karena
gerakan tersebut tidak diperintahkan oleh unsur kejiwaan.
Dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan manusia, pada
dasarnya bersumber dari kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia;
yaitu:
1.
Tabiat (pembawaan); yaitu suatu dorongan jiwa yang
tidak dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri (gharizah) dan faktor warisan sifat-sifat
dari orang tuanya.
2.
Akal-pikiran; yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi
oleh lingkungan manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkannya, merasakannya
serta merabanya. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai sesuatu yang lahir
(nyata).
3.
Hati Nurani; yaitu dorongan jiwa yang hanya
terpengaruh oleh faktor intuitif. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai hal-hal
yang sifatnya abstrak (yang batin).
Akhlak secara bahasa berasal dari kata khalaqa yang kata asalnya khuluqun
yang berarti: perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian,
buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat,
atau sistem perilaku yang dibuat.[6] Akhlak karenanya
secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang
disepakati sebagai landasannya. Meskipun secara sosiologis di Indonesia, kata
akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi “orang yang berakhlak” berarti
orang yang berakhlak baik”.
B.
Hubungan Tasawuf dengan Akhlak.
Imam Al-Ghazaly mengemukakan pendapat Abu Bakar Al-Kattany
yang mengatakan:
“Tasawuf adalah budi
pekerti; barang siapa yang memberikan bekal budi-pekerti atasmu, berarti ia
memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima
(perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur
(petunjuk) Islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk
melakukan berbagai akhlak (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan
nur (petunjuk) imannya.”[7]
Mahmud Amin An-Nawawy mengemukakan pendapat Al-Junaid
Al-Baghdady yang mengatakan:
“Tasawuf adalah memelihara
(menggunakan) waktu. (Lalu) ia berkata: seorang hamba tidak akan menekuni
(amalan Tasawuf) tanpa aturan (tertentu), (menganggap) tidak tepat (ibadahnya)
tanpa tertuju kepada Tuhan-nya dan merasa tidak berhubungan (dengan Tuhan-nya)
tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepada-Nya).”
As-Suhrawardy mengemukakan pendapat Ma’ruf Al-Karakhy yang
mengatakan: “Tasawuf adalah mencari hakikat
dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk (kesenangan duniawi).”
Ajaran tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan
hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib,
tetapi ajaran tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadhaailul A’maal” (amalan-amalan yang
hukumnya lebih afdhal), tentunya maksudnya amalan sunat yang utama.
Prinsip-prinsip tasawuf ada lima macam; yaitu taqwa kepada
Allah, mengikuti sunnah, menahan diri, rela dan bertaubat.[8]
Selanjutnya bertaqwa kepada Allah (Taqwallah)
yang dilakukan secara nyata maupun secara rahasia, membentuk dirinya bersikap
wara dan istiqamah. Mengikuti sunnah (Ittbaa’us
Sunnah) dalam perkataan maupun perbuatan, membentuk dirinya berhati-hati
dan berakhlak mulia. Menahan diri (Al-I’raadh)
dari hal-hal yang bersifat sementara (yang
fana), membentuk dirinya selalu sabar dan tawakal. Bersikap rela (Ar-Ridha) dari pemberian Allah yang
kadang-kadang relatif sedikit atau banyak, membentuk dirinya bersikap qana’ah
dan lapang dada. Bertaubat (At-Taubah
atau Ar-Rujuu’) kepada Allah, yang dilakukannya dengan cara yang
terang-terangan maupun dengan cara yang bersifat rahasia; baik dilakukan dalam
keadaan senang hati, maupun dalam keadaan kesusahan, sehingga membentuk
kepribadian yang suka bersyukur ketika mendapatkan kesenangan dan bersabar
ketika mendapatkan kesusahan.
Sehubungan lingkup kegiatan para sufi untuk mencapai suatu
keridhaan dari Allah SWT. Ide-ide itu mengharapkan agar kegiatan Tasawuf tidak
hanya diarahkan kepada ibadah vertikal, tetapi hendaknya juga diarahkan kepada
ibadah horizontal, sehingga nantinya Ulama Tasawuf harus ikut juga memikirkan
kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak. Maka konsekuensinya , istilah-istilah
yang sering digunakan oleh sufi, harus didefinisikan kembali; misalnya istilah
zuhud yang selama ini didefinisikan sebagai sikap yang meninggalkan kesenangan
duniawi yang dapat menyebabkan seseorang lupa kepada Tuhannya. Karena itu,
kekayaan yang dapat dijadikan sarana kemudahan untuk beribadah dan untuk
membangun masyarakat, dapat disebut zuhud. Jadi, yang dihindari sebagai sikap
zuhud bukan kekayaannya, tetapi sebenarnya efek negatifnya; termasuk sikap
sombong, takabur dan lalai yang diakibatkannya.
Ajaran Islam itu sendiri memberikan petunjuk untuk
menyeimbangkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, sebagimana keterangan
Al-Qur’an yang berbunyi:
ﻭﺍﺑﺘﻎﻓﻴﻤﺎﺍﺗﻚﺍﻟﻠﻪﺍﻟﺪﺍﺭﺍﻻﺧﺮﺓﻭﻻﺗﻨﺲﻧﺼﻴﺒﻚﻣﻦﺍﻟﺪﻧﻴﺎﻭﺍﺣﺴﻦﻛﻤﺎ
ﺍﺣﺴﻦﷲﺍﻟﻴﻚﻭﻻﺗﺒﻎﺍﻟﻔﺴﺎﺩﰱﺍﻻﺭﺽ ﺍﻥﷲﻻﻳﺤﺐﺍﻟﻤﻔﺴﺪﻳﻦ
Dan carilah apa yang telah
dianugerahkan Allah bagimu untuk negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana
Allah telah berbuat baik padamu, serta janganlah berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.(Al-Qasas: 77).
Membicarakan akhlak dengan tasawuf; bahwa akhlak merupakan
tolak tasawuf, sedangkan tasawuf merupakan batas akhir akhlak.[9]
Maka pernyataan ini, dapat dipahami bahwa ajaran akhlak merupakan sarana untuk
mengamalkan ajaran tasawuf, sedangkan tasawuf adalah tujuan sementara akhlak.
Dan kalau kita memperhatikan lagi istilah At-Takhalli; yang dimaksudkan nya
sebagai upaya pembersihan diridari sifat-sifat tercela, istilah At-Takhalli; yaitu upaya pengisisn diri
dengan sifat-sifat terpuji, dan At-Tajalli;
yaitu penyaksian hati ketika mendapatkan kenyataan Tuhan . dan ketika hamba
melakukan At-Takhalli dan At-Takhalli (menyinari hatinya dengan
sifat-sifat terpuji), maka ia masih mengamalkan ajaran akhlak. Tetapi ketika
hamba melakukan At-Tahalli (dalam
arti mengamalkan syariat, tarekat,
hakekat, dan ma’rifat), maka ia telah memasuki ajaran tasawuf. Dan bila
hamba itu telah sampai pada tahapan ma’rifat,
maka ia pasti mencapai tingkatan At-Tajalli,
yaitu perolehan pancaran cahaya yang bersumber dari Allah SWT; apakah hamba itu
mendapatkan Tajalli dengan perbuatan-Nya (At-Tajalli Bi-Af’aalihi), Tajalli dengan nama-Nya (At-Tajalli Bi-Asmaaihi), Tajalli dengan
sifat-Nya (At-Tajalli Bi-Shifaatihi)
ataupun ia mendapatkan Tajalli dengan Dzat-Nya (At-Tajalli Bi-Dzaatihi).[10]
Dari uraian tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa
hubungan akhlak dengan tasawuf sangat erat, dimana akhlak merupakan pangkal
tolak tasawuf, sedangkan tasawuf merupakan tujuan sementara akhlak. Karena
tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat (As-Sa’aadah) menurut Ulama Tasawuf
Sunniy, atau menjadi manusia ideal (Al-Insaanul
Kaamil) menurut Ulama Tasawuf Falsafiy.
C.
Indikator Manusia Berakhlak.
Umat Islam yang dipersiapkan untuk benar-benar menjadi “Ummatan Wasathan”, harus dilengkapi
dengan tuntunan yang dapat dijadikan alat komunikasi dengan sesama manusia.
Tuntunan itu berupa ajaran akhlak mulia, yang diharapkan untuk mewarnai segala
aspek kehidupan manusia. Karena itu, sesungguhnya ilmu komunikasi yang paling
hebat adalah ilmu yang didasarkan atas “Al-Akhlaaqul Kariimah”, yang menjadi
pegangan bagi umat Islam, dengan anjuran melakukan sifat-sifat yang terpuji.
Adapun indikator atau ciri-ciri manusia yang berakhlak antara
lain:
1.
Berbakti kepada kedua orang tua ( ﺑﺮﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ
) yaitu membuat kedua orang tua merasa senang dan bahagia atas perbuatan
yang kita kerjakan, misalnya:
a.
Mematuhinya, menghormatinya dan sopan santun
terhadapnya;
b.
Berlaku jujur dan menaruh percaya terhadapnya, selama
perbuatannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam;
c.
Mensyukuri seluruh jerih payah orang tuanya, dan
selalu membantunya; baik ketika diminta atau tidak;
d.
Mengurusi jenazah orang tuanya bila meninggal, selalu
mendoakannya serta melanjutkan cita-cita baiknya.
2.
Menghormati tetangga dan tamu ( ﺍﻛﺮﺍﻡﺍﻟﺨﺎﺭﻭﺍﻟﻀﻴﻒ ) yaitu bersikap dan berperilaku sopan
terhadap tetangga dan tamu, serta tidak menyombongkan diri dan tidak angkuh
terhadapnya.
3.
Berusaha menimbulkan rasa kasih sayang dan menarik
simpati orang lain ( ﻛﺴﺐﺍﻟﻮﺩﺓﻭﺍﺳﺘﻤﺎﻟﺔﻗﻠﻮﺏﺍﻟﻨﺎﺱ ) yaitu mewujudkan
rasa kasih sayang terhadap manusia beserta menggugah hatinya agar tertanam rasa
simpati kepada kita, dengan cara berbuat sesuatu yang tidak merasa
dirugikannya.
4.
Memberikan sumbangan yang bersifat meringankan beban
hidup bagi orang-orang yang berhak menerimanya ( ﺑﺬﻝﺍﻟﺼﺪﻗﺔﻟﻤﻦﻳﺴﺘﺤﻘﻬﺎ
) yaitu suatu upaya yang sangat dianjurkan dalam Islam, agar dapat
mengangkat derajat orang-orang yang lemah ekonominya, untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
5.
Membantu memudahkan urusan sesama manusia, bagi orang
yang berkemampuan ( ﺗﻴﺴﻴﺮﺍﻣﺮﻋﺴﻴﺮﻋﻠﻰﺍﺥﻋﻨﺪﺫﺳﻄﺎﻥ ) yaitu
mencakup bantuan yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat jasa; baik secara
langsung maupun tidak langsung, kesemuanya sangat dibutuhkan untuk
menghilangkan kesulitan dalam urusan sesama manusia.[11]
D.
Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan.
1.
Akhlak terhadap Tuhan; yang meliputi antara lain:
a.
Bertaubat (At-Taubah);
yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan
berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik.
b.
Bersabar (Ash-Shabru);
yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang
dihadapinya. Tetapi tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa usaha
untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar
yang dimaksudkan nya adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar, lalu diakhiri
dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Tuhan.
c.
Bersyukur (Asy-Syukru);
yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat
yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya; baik yang bersifat fisik maupun
non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan pendekatan diri kepada Yang memberi
nikmat, yaitu Allah SWT.
d.
Bertawakkal (At-Tawakkal):
yaitu menyerahkan segala sesuatu urusan kepada Allah setelah berbuat semaksimal
mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat
utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang
diharapkannya, ia lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan
ketentuannya kepada Allah SWT. Maka dengan cara demikian itu, manusia dapat
meraih kesuksesan dalam hidupnya.
e.
Ikhlas (Al-Ikhlaash):
yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain)
ketika mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih,
bila dikerjakannya dengan ikhlas.
f.
Raja’ (Ar-Rajaa’);
yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi
dari Allah SWT, setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu
yang diharapkannya. Oleh karena itu bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu
menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu disebut “tamanni” atau khayalan.
g.
Bersikap takut (Al-Khauf);
yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menuggu sesuatu yang tidak disenangi dari
Allah SWT. Maka manusia perlu berupaya agar apa yang ditakuti itu, tidak akan
terjadi.
2.
Akhlak terhadap sesama manusia; yang meliputi antara
lain:
a.
Belas kasih atau sayang (Asy-Syafaqah); yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan
menyantuni orang lain.
b.
Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa’);
yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang
lain, karena ada keterikatan batin dengannya.
c.
Memberi nasihat (An-Nashiihah);
yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain
dengan menggunakan perkataan; baik ketika orang dinasihati telah melakukan
hal-hal yang buruk, maupun belum. Sebab kalau dinasihati ketika ia telah
melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia berhenti melakukannya.
Tetapi kalau dinasihati ketika ia belum melakukan perbuatan itu, berarti
diharapkan agar ia tidak akan melakukannya.
d.
Memberi pertolongan (An-Nashru); yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak
mengalami suatu kesulitan.
e.
Menahan amarah (Kazhmul
Ghaizhi); yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan
marah terhadap orang lain.
f.
Sopan santun (Al-Hilmu);
yaitu suatu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam
perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan yang mulia.
g.
Suka memaafkan (Al-Afwu’);
yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain
yang pernah diperbuat terhadapnya.
Konsep iman
dalam ajaran islam adalah berhubungan dengan akhlak atau budi pekerti yang
mulia, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan manusia, maupun dengan
makhluk lainnya.
Akhlak yang
mulia itu amat banyak jumlahnya, namun yang utama dan pokoknya adalah
pengendalian hawa nafsu, bersikap benar dan jujur, ikhlas, qanaah, dan malu.
Kesemuanya itu saling berkaitan dan berakar pada iman kepada Allah SWT.[12]
Untuk
mencapai kebutuhan hidup, manusia mau tidak mau ia harus menjalin hubungan
dengan orang lain yaitub melakukan kerjasama, tolong menolong, saling
menghormati, dan menasihati. Hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sudah
diatur dalam agama seperti adab kesopanan atau akhlakul karimah, dengan tetangga, guru, orang tua, teman dan
sebagainya.[13]
Dengan cara
demikian, manusia akan mencapai arti dan hakikat hidupnya berupa kabahagiaan
yang hakiki, lahiriah dan batiniah. Dengan itu kemudian manusia dapat dengan
tenang melaksanakan tujuan hidupnya yaitu melakukan pengabdian kepada Allah
SWT.
Kesimpulan
Etika
yang berarti adat kebiasaan sama dengan akhlak dalam arti bahasa. Artinya etika
adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang, yang tersusun
daripada suatu sistem nilai atau norma yang diambil daripada gejala-gejala
alamiah masyarakat kelompok tersebut.nMoral (Mos) yang jama’nya Mores adalah kata Latin; yang berarti adat atau
cara hidup. Akhlak secara bahasa berasal dari kata khalaqa yang kata asalnya khuluqun
yang berarti: perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian,
buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak itu berarti perangai, tabiat,
atau sistem perilaku yang dibuat.
Membicarakan
akhlak dengan tasawuf; bahwa akhlak merupakan tolak tasawuf, sedangkan tasawuf
merupakan batas akhir akhlak. Maka pernyataan ini, dapat dipahami bahwa ajaran
akhlak merupakan sarana untuk mengamalkan ajaran tasawuf, sedangkan tasawuf
adalah tujuan sementara akhlak.
Adapun
indikator atau ciri-ciri manusia yang berakhlak antara lain: Berbakti kepada
kedua orang tua; Menghormati tetangga dan tamu; Berusaha menimbulkan rasa kasih
sayang dan menarik simpati orang lain; Memberikan sumbangan yang bersifat
meringankan beban hidup bagi orang-orang yang berhak menerimanya; Membantu
memudahkan urusan sesama manusia, bagi orang yang berkemampuan.
Hubungan
dengan sesama manusia dapat mengambil bentuk hubungan dalam keluarga,
bertetangga, dan berbangsa. Masing-masing hubungan tersebut memiliki
prinsip-prinsip yang apabila dipatuhi akan dapat menciptakan suasana yang
harmonis kepada setiap manusia yang terlibat dalam hubungan tersebut. Hubungan
keluarga adalah saling mencintai, sayang menyayangi, bantu membantu, harga
menghargai, dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Dalam hidup berbangsa
yang merupakan kumpulan dari masyarakat adanya ras cinta tanah air, tanpa
mengutamakan kepantingan pribadi di atas kepentingan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
A.H. Dabana, Esensi Hidup Dustur Ilahi Dalam Fisika, Metafisika, dan Al-Qur’an, Penerbit CV.
“MS” Banjarmasin, 2002.
Ali Hasan, Drs. H. & Abuddin Nata, Drs. H., Materi Pokok Agama Islam, Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, dan Universitas Terbuka, 1998.
Mahmud Sujuthi, Drs. H., Membentuk Manusia Seutuhnya Melalui Iman-Islam-Ihsan, Penerbit CV.
Al-Ihsan, Surabaya, 1995.
Mahyuddin, Drs., Kuliah Akhlak Tasawuf, Penerbit
Kalam Mulia, Jakarta, 1999.
Nasruddin Razak, Drs., Dienul Islam, Penerbit PT.
Al-Ma’arif, Bandung, 1971.
Zakiah Darajat, Prof. DR., et all., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan Tinggi Umum, Penerbit PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
[1]
Mahyuddin, Drs; Kuliah Akhlak Tasawuf,
Kalam Mulia, Jakarta, 1999, hal: 7.
[2]
Zakiah Darajat, Prof. DR, et all; Dasar-dasar Agama Islam, PT Bulan
Bintang, Jakarta, 1987, hal: 257.
[3]
Mahyuddin, Drs; Op Cit, hal: 7.
[4]
Ibid, hal: 1.
[5]
Ibid, hal: 2.
[6]
Zakiah Darajat, Prof. DR; Op cit, hal: 253.
[7]
Mahyuddin, Drs; Op cit, hal: 151.
[8]
Ibid, hal: 152.
[9]
Ibid, hal: 156.
[10]
Ibid, hal: 156.
[11]
Ibid, hal: 141.
[12]
M. Ali Hasan, Drs. H. & Abuddin Nata, Drs. H., Modul Agama Islam, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka, Ditjen Binbaga Islam, Jakarta, 1998, hal: 96.
[13]
Ibid, hal: 125.